Hukum Menjama’ Shalat bagi Pengantin

Mutiara-Indonesia.com – Telah menjadi tradisi dalam kehidupan di masyarakat bahwa acara pernikahannya sangat sakral dan esensial, sehingga menghabiskan waktu yang lama dan biaya pun besar. Kondisi seperti ini bahkan menjadi tren dan dibangga-banggakan sebagian orang. 

Realitas yang ada dapat dilihat dan dirasakan ketika adanya pesta pernikahan (walimah al-`ursy), dimana dua orang pengantin sebagai raja dan ratu sehari, diliputi rasa senang dan bahagia. Namun tidak sedikit di antara pengantin-pengantin tersebut lalai, lupa, bahkan dengan sadar meninggalkan shalat fardhu, dengan alasan menganggap walimah sebagai udzur syar’i; sibuk dalam menyambut tamu, berdandan dengan serba mahal dan tebal serta menggunakan pakaian yang berlapis-lapis.

Shalat jama’ menurut bahasa adalah mengumpulkan dua shalat fardhu dikerjakan dalam satu waktu shalat. Shalat yang boleh dijama’ adalah shalat Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’. Shalat jama’ adalah menggabungkan shalat Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ baik secara didahulukan (taqdim) atau diakhirkan (ta’khir).

Pengantin yang menjamak shalat dengan cara mengerjakan shalat yang pertama pada waktu yang kedua yang dinamakan Jama’ Ta’khir yang beralasan menjalankan prosesi adat yang dilakukan pada saat melangsungkan proses adat ini biasanya kedua mempelai menjamak shalatnya, sebab proses ini dimulai sekitar dari jam 10. 00 – 16.00 WIB sehingga tidak menemukan waktu luang untuk melaksanakan shalat zhuhur.

Ibnu Sirin dan Ash-hab dari kalangan madzhab Maliki, Imam Nawawi serta ulama kontemporer lainnya berpendapat tentang bolehnya menjama’ shalat karena ada hajat dan keadaan mendesak, dengan syarat hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Yang mana ini termasuk dalam keadaan tersebut di atas, yaitu riasan wajah yang mahal sehingga jika mengulang riasannya akan menambah biaya, banyaknya tamu undangan yang membuatnya kerepotan dan kesulitan pengantin wanita dalam mengganti pakaiannya yang berlapis-lapis sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama.

Keadaan mendesak seperti ini hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup, dan tidak akan dijadikan kebiasaan dalam keadaan sehari-hari.

 

Penulis: Vardonal Dinata Chandra (Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang)

"Selamat Datang di MUTIARA INDONESIA , Berita akurat fakta dan terdepan"

Scroll to Top