Pada gilirannya, sebagai pengantar keluarga yang sedang sakit, kini giliran dirinya yang sakit. Karena sudah sebulan lebih dia ikut mondar-mandir ke rumah sakit untuk mendampingi keluarganya yang sakit. Padahal, di rumah sakit, ratusan orang yang sakit itu berdatangan membawa penyakitnya masing-masing.
Yang lebih miris memang ketika menyaksikan anak muda yang belum selesai masa dewasanya, tampak berbaring lemas tidak berdaya di atas kursi roda. Sementara, sang Bunda terlihat penuh mendorong kursi roda itu dengan segenap penuh kasih dan sayang, sambil menjinjing tas yang penuh dengan beragam bekal panganan serta air mineral.
Ratusan kursi roda pun yang bertebaran di segenap penjuru rumah sakit ini seperti mengingatkan pada pawai para pejuang yang sedang melakukan upacara tujuh belasan. Dan memang, suasana perayaan kemerdekaan — saat bangsa dan negara Indonesia diproklamasikan pada 78 tahun silam, sedang marak dilakukan. Ada baliho pekik merdeka yang masih acap disahuti dengan suara yang sumbang; belum !
Karena memang mereka yang menyahuti dengan suara yang lebih lantang serta rasa penuh kekecewaan itu, sangat romantik dengan janji Proklamasi seperti yang tersurat jelas dalam teks maupun pada Priambule UUD 1945.
Janji Proklamasi Kemerdekaan seperti tertulis dalam pembukaan UUD 1945 itu, pun seperti tengah sakit. Entah apa gerangan penyakit yang begitu jahat menggerogoti jiwa dan raganya, sehingga segenap warga bangsa harus rasa mengulur sabar entah sampai kapan batas waktunya.
Agaknya, itulah yang hendak dijawab oleh Forum Negarawan yang gigih melakukan evaluasi rutin setiap tanggal 11 sejak awal Maret tahun 2023 silam. Dan pada 11 Agustus 2023 ini akan memapar kondisi Negara dan Posisi Negarawan dalam merawat cita-cita bangsa yang terabaikan itu. Sehingga fakir miskin, orang terlantar, anak-anak yang tidak sekolah yang belum teratasi sepenuhnya di negeri ini dapat diurai kusut masainya untuk diberi resep yang jitu.
Dari diagnosa banyak pakar, konon sakitnya bangsa dan negara ini karena salah resep dan salah obat. Karenanya, racun dan obat yang bersemayam di dalam tubuh itu harus didetock agar sembuh dan tubuh republik ini tidak meradang.
Beragam penyakit korupsi yang semakin ugal-ugalan mengganas, tindak kejahatan di mana-mana, hingga biaya hidup semakin menjadi semakin berat mencek rakyat. Begitulah, tarif listrik, air minum, gas, beras serta kebutuhan sehari-hari justru ikut ugal-ugalan tidak terkendali.
Maka itu, Sukarna asal Majalengka, Jawa Barat bertanya lugu ikhwal janji proklamasi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang sudah diacak-acak sejak 30 tahun silam (2002), seakan semakin mengukuhkan pengabaian terhadap janji kemerdekaan yang tak hendak melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia ini memang tidak lagi berlaku. Atau mungkin juga sudah dianggap kadaluarsa, makanan kemasan yang perlu didaur ulang. Padahal, pangkal soalnya semua berasal dari keusilan rekayasa yang salah. Maja itu tampaknya tidak mungkin semua itu direkayasa ulang, tapi harus diganti yang baru — yang otentik hasil racikan anak bangsa negeri ini — bukan rekayasa bangsa asing. Karenanya, fenomena merangseknya bangsa asing menyelusup ke segenap penjuru kampung kita ini, bagian dari masalah yang harus dijawab dalam bentuk kerja nyata, bukan bual-bual semata.
Jadi tontonan yang kita saksikan meriap banyaknya orang yang sakit itu, tak sekedar membuktikan rasa perduli, atau sekedar mengingatkan bahwa tak lama lagi kita pun akan mati, tetapi lebih dari itu bisa juga dipahami — saat hidup pun tak ada yang perduli — apalagi kelak setelah mati.
Tamsil puritan diatas, semacam sanepo sandingan untuk menggambarkan kepongahan dari kekuasaan rezim yang akan berganti dengan rezim berikutnya. Sehingga do’a bisa lebih intens dikirimkan ke langit, agar Tuhan berkenan memberi sosok negarawan untuk negeri ini yang terbaik.
Begitulah makna tirakat setiap perayaan tujuh belasan di kampung kami, tak cuma sekedar lomba panjat pinang, tetapi hikmat merenungkan esensi kemerdekaan, jasa para pahlawan seraya mengirimkan do’a seperti ziarah ke pemakaman yang tak hendak disebut makam pahlawan atau Kesuma Negara itu. Karena tekad dan niat yang suci dan tulus itu bersemayam tentram di dalam hati.
Jacob Ereste
Banten, 2 Agustus 2023