Mutiara-Indonesia.com – Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia disoroti sebagai salah satu pelaksanaan terburuk dalam sejarah perjalanan Pemilu. Dugaan pelanggaran etika dan UU Konstitusi memberikan dampak serius, namun sorotan utama jatuh pada penggunaan sistem Presidential Threshold (PT) 20%, sebuah praktik yang sudah jarang diterapkan di negara demokrasi lain.
Penggunaan PT 20% memaksa partai politik untuk berkoalisi, dan kandidat presiden serta wakil presiden harus berkompromi dengan partai politik dan kekuatan finansial. Alhasil, kandidat terpilih menjadi terikat dengan komitmen kepada partai koalisi dan kekuatan modal yang mendukungnya selama kampanye. Dalam konteks ini, tercipta suatu dinamika di mana “tidak ada makan siang yang gratis” dalam dunia politik.
Permasalahan semakin kompleks dengan munculnya kandidat Capres-Cawapres yang semuanya berasal dari lingkaran kekuasaan rezim penguasa saat ini. Tidak satupun kandidat yang murni berasal dari representasi rakyat, mencerminkan stagnasi dalam regenerasi kepemimpinan yang seharusnya inklusif dan mewakili berbagai kalangan masyarakat.
Sebagai contoh, beberapa kandidat Capres-Cawapres 2024 berasal dari lingkaran kekuasaan rezim pemerintah yang sedang berkuasa, seperti Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo, dan Mahfud MD. Hal ini mengakibatkan penurunan kepercayaan publik, seperti tercermin dalam hasil jajak pendapat Kompas yang menunjukkan bahwa 86,4 persen publik merasa kandidat yang dipilih tidak akan berubah setelah menonton debat.
Sulitnya terwujudnya perubahan yang substansial muncul seiring dengan pergantian kekuasaan dan oligarki. Oligarki, baik yang sudah berkuasa maupun yang belum, terlibat dalam kompetisi untuk mendapatkan pengaruh. Mereka mendukung kandidat Capres-Cawapres dengan harapan dapat mempertahankan atau meraih kekuasaan.
Antisipasi terhadap dinamika ini dapat dilakukan melalui perubahan sistem menyeluruh, mengatasi celah-celah yang memunculkan perilaku korup. Pemilu yang bersih dan jujur bukanlah sekadar wacana, melainkan tuntutan serius untuk merombak sistem yang menghambat saluran demokrasi.
Diperlukan Pemerintah Transisi untuk melakukan perubahan dalam segala aturan yang membatasi demokrasi. Tanpa upaya ini, sulit membayangkan terwujudnya Pilpres sesuai dengan tujuan dan pemimpin yang diharapkan. Pemimpin yang lahir dari sistem yang tidak tepat cenderung menghasilkan kebijakan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Perubahan nyata bukanlah sekadar janji manis dalam kampanye atau debat Capres-Cawapres. Perubahan sejati melibatkan keberanian untuk merubah sistem pemerintahan yang terjebak dalam dinamika partai politik dan dominasi oligarki. Ini bukan hanya tentang janji lapangan kerja atau pendidikan gratis, tetapi transformasi sistem yang menciptakan dasar bagi demokrasi yang sehat. Inilah esensi dari perubahan sejati yang diperlukan untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Catatan, capres-cawapres Pilpres 2024
Anies Baswedan: Mantan Jurkam Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014, Mantan Mendiknas Kabinet Jokowi, Mantan Gubernur DKI Jakarta era Presiden Jokowi periode 2. Muhaimin Iskandar: Ketum Parpol pendukung Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 (Jokowi-Maruf Amin), Ketua Parpol Pendukung Wacana Perpanjangan 3 Periode, Mantan Menteri Tenaga Kerja Kabinet Jokowi Periode 1.
Prabowo Subianto: Menteri Kabinet Jokowi periode 2. Gibran Rakabuming Raka: Walikota era Pemerintahan Jokowi periode 2, Putra Presiden Jokowi.
Ganjar Pranowo: Mantan DPR Fraksi PDIP pengusung Jokowi-Jusuf Kalla Pilpres 2014, Gubernur Jateng era Pemerintahan Jokowi periode 1 dan 2. Mahfud MD: Mantan Menteri Kabinet Jokowi periode 2.
Penulis: Agusto Sulistio